Halaman

Sabtu, 25 Oktober 2008

Sebuah Pengakuan


Sebuah pengakuan yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Pengakuan yang membuat beku sekujur tubuhku, kurasakan aliran darahku berhenti seketika. Aku tak sanggup bernafas, hal yang biasa kulakukan dengan mudah pada detik ini tak sanggup kulakukan. Aku seperti menelan batu dikerongkonganku. Aku hanya diam membatu seperti malin kundang yang dikutuk ibunya. Persoalannya aku tak dikutuk ibuku melainkan Tuhan telah mengutukku atas kesalahan yang sama sekali tak ku perbuat. Aku bukan sok suci, tapi kutukan yang Tuhan berikan padaku sungguh tak adil. Aku tak pernah melakukan kesalahan hingga kutukan itu bisa terlontar padaku.
Suaranya terus menggaung ditelingaku, aku tak mendengar kata-kata selanjutnya. Pikiranku berkutat pada kalimat yang sanggup membuat ambruk pertahanan tubuhku. Tapi aku tidak ambruk. Aku tak ingin kalah dengan situasi ini. Aku lebih memilih diam seperti batu. Batu karang yang kokoh diterpa ombak dan badai. Bibirku bergetar, aku tak sanggup berkata. Dihadapanku bersimpuh mahluk tak berdaya yang tiap detik meneteskan air mata penyesalannya. Dia menunduk lemas dan duduk bersimpuh dikedua kakiku. Aku tetap berdiri. Aku lebih memilih menjadi batu. Dia terus mengisakan tangisnya. Dia tidak cengeng, sebelumnya aku tak pernah melihatnya menangis. Ini merupakan hantaman besar untuknya. Matanya yang selalu bersinar kini menimbun luapan kesengsaraan. Dan tentunya aku yang lebih sengsara. Hantaman besar untukku menerima kutukan Tuhan ini.

Dia tetap bersimpuh di kedua kakiku sambil terus membiarkan airmatanya membahasi kakiku. Sudah dua jam aku berdiri kaku, tak ada rasa pegal ataupun kesemutan. Dalam kondisi biasa aku yakin aku tak akan sanggup berdiri selama itu tanpa bergeming. Ini lain aku masih kuat untuk tetap berdiri membatu Tuhan telah mengutuku akupun mengutuk dia dan diriku sendiri. Apa yang bisa kulakukan sebagai manusia. Apa ada yang sanggup menerima kenyataan pahit yang kualami? Aku bukan nabi yang selalu pasrah terhadap cobaan dan ujian yang diberikan Tuhan untuk-Nya. Aku bukan Rasul yang memiliki kebesaran hati menerima dengan mudah ketidakadilan yang Tuhan beri. Aku menuntut hakku tentunya. Aku tidak takabur, 30 Tahun aku hidup dengan memegang teguh ajaran-Nya. Seingatku aku tak pernah melanggar yang Tuhan larang, aku melaksanakan apa yang Tuhan anjurkan. Seingatku aku sudah mengumpulkan banyak pahala untuk bekal aku masuk Surga yang telah Tuhan janjikan. Aku meminta keadilan....
***