Halaman

Minggu, 26 September 2010

Dua Mangkuk Cuanki Untuk Gaun Dinda

Sore itu hujan turun sangat deras, langit berawan kelam hitam seperti layaknya hari sudah malam. Dalam deras hujan semua orang akan memilih berdiam berlindung di dalam rumah-rumah yang mereka sendiri anggap istananya. Tapi tidak untuk Kodir. Hujan deras tidak mematahkan semangatnya untuk terus berjalan, membawa tanggungan di pundaknya dan mengetuk-ngetuk kentungan kecilnya. Dalam kedinginan, peluh yang terbasuh air hujan, kodir menahan getir. Seraya berharap siapapun orang yg sedang berlindung di istananya mendengar suara ketukan kentungan kecilnya dan memanggilnya membeli cuanki buatan tangan gesit istrinya. Ketika mengingat istri, air matapun menetes. Kodir sudah tak sanggup lagi mengalirkan air mata dengan deras, air matanya sudah hampir kering karena setiap harinya dia selalu menangis. Tidak! Kodir tidak cengeng! Jangan pernah menganggap tangisan bentuk sikap kecengengan! Tangisan Kodir adalah jalan meluapkan beban yg dipikulnya. Hanya tangis yang menjadi pelampiasannya ketika dia sudah tak sanggup membeli beras untuk di makan sehari-harinya. Tangisan membuat dia, istri dan anaknya melupakan rasa lapar di perutnya. Tangisan yang membuat mereka tidur lelap dan membawa rasa laparnya dalam mimpi. Ketika fajar menyingsing, mereka menghapus rasa laparnya dengan harapan hari ini ada orang yang mau membeli cuankinya.

Rabu, 22 September 2010

Bulan Malam

Aku sedang menatap rembulan di balik jendela kamar kosanku. Letak kamarku di lantai dua menghadap arah barat, tepat arah dimana sang raja api lenyap di telan bumi yang berganti suasana kemuning senja. Konon katanya itu adalah masa bentrokan dimensi manusia dengan alam jin. Makanya jarang orang-orang berkeliaran saat magrib menjelang. Biasanya orang-orang lebih memilih diam dirumah, mengunci rapat-rapat pintu dan jendela serta menutup gorden hingga tidak ada celah sedikitpun untuk bisa diintip dari luar ataupun mengintip dari dalam. Entah benar atau tidak mitos tersebut aku sedang tidak ingin dan tidak akan pernah berkeinginan untuk mengetahui kebenarannya. Setidaknya aku masih merasa waras untuk mengurusi hal itu. Aku sekarang sedang asyik menikmati sinar rembulan yang terang benderang menghiasi malam yang mestinya kelam. Dilengkapi taburan bintang dan suara jangkrik yang riang menjadikan suasana malam ini begitu mengesankan dan sayang untuk kulewatkan. Kubiarkan telingaku mendengar lantunan “aku dan bintangnya” Peter Pan dari kamar sebelahku, menjadi soundtrack fenomena alam yang sedang kunikmati.

Arummanis


Irha Tyrama
“Tott...toottttt.........kittttttttttttttttttttt, Brakk........Allahu Akbar!!!”  daun telingaku menangkap samar-samar suara gaduh itu. Asal suara tak jauh dari keberadaanku. Di tengah gerimis orang-orang mulai menghambur mengerumuni asal suara gaduh tadi. Aku tidak berpikir akan menjadi bagian orang yang berkerumun disana, gerimis yang mulai menderas membuat akal sehatku untuk segera bergegas pulang. Tapi entah kenapa ada perasaan yang mengganjal, seolah suara hatiku memanggil untuk melihat apa yang terjadi dengan suara gaduh itu.
Suara hati ini begitu kuat memanggil, ada perasaan cemas yang tak menentu. Dengan langkah pelan ku balik arah menuju orang berkerumun. Aku harus berusaha keras menerobos kerumunan orang-orang. Mereka berkerumun seperti membuat barikade, setelah bersusah payah mencari celah, akhirnya mataku tepaku manatap sesosok lelaki paruh baya, dengan darah segar mengalir dari kepalanya. Bau amis menyodok hidungku, lelaki tua itu terlentang kaku. Aku diam terpaku.
***

Surat Untuk Perempuan Dalam Bayang-bayang Lelakiku


Irama, Februari 2007
Surat Untuk Perempuan Dalam Bayang-bayang Lelakiku

Sebelumya aku minta maaf. Bukan maksud untuk mengusik kehidupanmu. Aku hanya perempuan yang sedang merasa galau dan tengah terusik akan keberadaan dirimu di tengah-tengah jalinan kasih antara aku dan lelakiku.

Aku menangkap sosok dirimu dalam bayang-bayang lelakiku, Aku menangkap sosok dirimu dalam binar mata lekakiku, Aku menangkap sosok dirimu dalam setiap hembusan nafas lelakiku,  Dan aku menangkap sosok dirimu dalam lelapnya tidur lelakiku. Hal itu benar-benar membuatku terpuruk, menghancurkan mimpi indahku, mengusik ketenangan jiwaku. 

Kau tahu? Tadinya tali itu kuat mengikat walaupun sudah mengkarat. Jembatan itu takan pernah putus berapapun berat yang melintasinya. Tapi kini jembatan itu terancam rubuh dengan seutas tali yang masih membentang dengan rapuhnya. Kau tidak hanya berjalan melintasinya, tapi juga telah melompat-lompat ditengah lintasannya. Jembatan itu kian rapuh.

Aku lengah. Kau tahu? harusnya aku dan lelakiku menjadi tokoh utama dalam lakon kehidupan ini. Kehadiranmu membawa bencana, kau telah mengambil sepertiga dari peranku. Aku tahu Skenario ini telah digariskan Tuhan untukku. Tapi kau benar-benar mengkudeta peranku.

Aku tak bermaksud menyalahkanmu, akupun tak bisa menyalahkanmu, aku tak punya kuasa untuk menjadikanmu seorang terdakwa. Bisa jadi kau memang benar-benar tidak tahu atau malah sebaliknya, sebenarnya kau memang sudah tahu ada kisah antara aku dan lelakiku.