Halaman

Rabu, 11 November 2009

PULANG


PULANG
“Mak, pokoknya aku mau pulang! Aku mau lebaran di rumah sama emak, sama Tina juga!.”

Suara Sahadi terdengar tegas dengan nada memaksa di telinga perempuan yang di sebut Emak itu. Walaupun asal suara itu dari telepon, tapi dapat Emak rasakan gelombang rindu yang menderu dari anak semata wayangnya Sahadi. Jauh dari lubuk hati terdalam, Emak pun amat sangat merindukan Sahadi. Semenjak pernikahannya dengan Marni, Emak merasa Sahadi sudah tidak lagi menjadi bagian dalam hidupnya. Tanpa maksud berburuk sangka sama mantunya, Emak merasa Sahadi kian jatuh dalam belengggu Marni, sampai peran Emak yang semestinya masih ada selayaknya Ibu, tak lagi kebagian jatah memerankan peran Ibu untuk Sahadi. Marni sudah menjadi sutradara dalam alur kisah rumah tangganya, Marni yang menyusun adegan, skenario dan jatah peran untuk masing-masing. Semakin hari, semakin terasa jarak yang sengaja di bentangkan Marni. Emak tidak bisa berbuat apa-apa. Sahadi amat sangat mencintai Marni, pikir Emak kalau Sahadi bahagia dengan Marni Emak pun turut merasa senang. 


“Mak… aku kangen..” Suara Sahadi tidak lagi meninggi, suaranya lirih bak anak kecil yang tersedu sedan sehabis menangis kencang.
Gagang telepon masih Emak pegang erat, matanya berkaca-kaca meluncurkan bulir-bulir kecil dari sudut mata. Emak terisak.
“Nak, Emak senang kalau kamu mau pulang, tapi Marni harus ikut.” Suara Emak pelan, menahan isak tangisnya agar Sahadi tidak tahu kalau Emak menangis.
“Percuma mak, Marni gak akan mau ikut, aku pulang sendiri mungkin bawa Tina cucumu yang cantik ini’
“Terserah kamu Di, tapi Emak harap Marni bisa ikut. Jangan sampai kamu pulang tanpa sepengetahuan Marni.”
“Lebih baik kamu tidak usah pulang kalau Marni tidak merestui” .
***
Setelah percakapan di telepon itu Emak nampak semakin gelisah. Perasaannya berkecamuk tak menentu. Rasa rindu yang terbelenggu membuat batinnya mengiris pedih. Dalam benak Emak di masa menjelang menjemput ajal ini Emak ingin sekali di dampingi anak, mantu serta cucunya. Tapi harapan tinggal harapan, Marni sudah membuat pagar tinggi menjulang sehingga Emak tidak bisa menggapainya, jangankan untuk masuk sekedar mengintip pun Emak tak kuasa.
Sebenarnya Emak sudah khawatir, dari semula Sahadi mengenalkan Marni sebagai calon istri. Marni memang cantik, benar-benar cantik tak ada alasan lelaki untuk tidak jatuh cinta sama Marni melihat dari penampilan fisiknya. Apalagi anaknya Sahadi. Emaknya tahu persis Sahadi sejak kecil selalu memimpikan punya pasangan yang cantik bagai bidadari. Emak teringat masa Sahadi ketika menginjak puber.
“Sahadi pengen punya istri kayak bintang film itu mak, cantik, kulitnya putih mulus, badannya semampai.” ujar Sahadi kecil sambil memandang foto model di kalender.
Saat itu Emak hanya mengulum senyum melihat tingkah polah anaknya yang berusia 15 tahun.
“Oalah nak, gede aja belum udah mikirin istri. Sekolah dulu yang bener, cari kerja yang mapan baru kamu bisa dapat istri cantik kayak yang kamu pengen” Emak dan Sahadi terkekeh geli.
Dalam hati Emak juga berpendapat kalau anaknya pasti akan dapat istri yang cantik, karena Sahadi di mata Emak memang anak yang tampan. Ketampanan ini diwarisi dari suaminya yang memang adalah keturunan Indo-Belanda. Emak pun adalah kembang desa pada jamannya.
Tapi kecantikan Marni tidak membuat Emak merasa nyaman. Sikap Marni terlalu angkuh. Latar belakang ekonomi dan pendidikan yang lebih tinggi membuat Marni merasa lebih dari suaminya.
Sahadi memang terlahir di keluarga yang sederhana, walaupun bapaknya turunan indo-belanda tapi bapaknya hanya orang biasa saja. Bapaknya Sahadi hanya anak dari seorang bekas pelacur pada masa penjajahan. Sedang Emak, sedari kecil hidup sebagai anak yatim piatu yang di asuh sama bibiknya yang hidup melajang sampai tua. Dengan kondisi ekonomi yang minim, Sahadi hanya mampu sekolah samapai SMA, kemudian merantau ke Jakarta berwira usaha kecil-kecilan disana. Sampai dia ketemu Marni anak seorang pedagang besar di Jakarta. Marni banyak membantu usaha Sahadi, memodali sampai Sahadi kini punya usaha dagang yang lumayan besar.
Secara ekonomi, Sahadi kini cukup mapan. Tapi kemapanan tersebut tidak membawa kebahagiaan bagi Emak yang mengandung, melahirkan, membesarkan anaknya. Bahkan, Sahadi berkali-kali sering mengeluh kalau dia cukup merasa tidak nyaman, karena Marni selalu merasa dia yang punya harta.
Sudah 2 kali Lebaran Sahadi tidak pulang. Alasannya selalu sama pesanan di hari lebaran lagi banyak, padahal menurut kabar dari tetangga sebelah Sahadi tiap lebaran selalu pergi liburan ke Bali. Emak hanya bisa mengelus dada, Emak tahu Sahadi pasti ingin sekali pulang, tapi Marni selalu punya banyak alasan untuk menahan Sahadi agar tidak pulang.
Lebaran kali ini Emak sangat berharap Sahadi bisa pulang, menemaninya berlebaran. Setelah menerima telepon itu bagai pucuk di cita ulam tiba. Sahadi memang berniat untuk pulang, berkali-kali dia telepon bilang akan pulang walaupun Marni menahannya. Emak begitu senang tak terkira, harapannya akan terwujud. Tapi rasa gelisah kembali menyusup relung hatinya. Marni tidak ikut, Marni tetap sama, tidak ingin bersahabat dengan mertuanya.
Emak terbangun dari lamunannya, tanpa terasa pipinya bersimbah air mata. Emak mencoba untuk tersenyum, sambil bergumam ”Tak apa Marni tidak datang, yang penting anakku Sahadi kini akan pulang ke pangkuanku.”
“allahuakbar..allhuakbar..allahuakbar…allahu akabar wallllailhamd.” sayup-sayup Emak mendengar suara takbir dari mesjid di kampungnya. Emak melihat jam sudah jam 4 sore, dia bergegas ke kamar mandi bersiap menyambut kedatangan anaknya yang rencananya akan pulang selepas magrib nanti. Emak sudah tak sabar besok akan pergi ke masjid dan nyekar ke makam bapak di temani Sahadi.
Emak segera berias, mengenakan baju kurung berwarna biru yang di kirim Sahadi sebulan lalu untuk lebaran. Di dapatinya bayangan dirinya di cermin sedang tersenyum dengan rona bahagia.
Sejam Emak menanti di beranda, sesekali dia melongok meja makan yang terisi penuh makanan kesukaan Sahadi. Makanan itu spesial Emak masak buat buka puasa anaknya di hari terakhir bulan Ramadan. Adzan Magrib pun sudah berkumandang Emak semakin tidak sabar. Waktu terus berjalan, Sahadi belum juga pulang. Emak mulai gelisah, tak mungkin setelat ini pikirnya. Sudah telat 3 jam dari perkiraan. Tiba-tiba Emak merasa sesak, jantungnya berdegup keras, dan dirasakan hatinya ngilu seperti ada yang menyayat-nyayat dengan sembilu. Dalam hati Emak bertanya, ”apa ajalku sudah dekat?” Emak terus berdzikir.
“Astagfirullah, astagfirullah….” Air mata mengalir deras di pipinya. Entah kenapa ia ingin menangis. Padahal dia dapat merasakan kehadiran Sahadi sudah benar-benar hampir di dekatnya.
“Mak… Sahadi mak… Sahadi mak..” teriak Kurdi anak tetangga berlari sambil terengah-engah ke arahnya. Emak hanya memandang dengan tatapan nanar. Seiringan dengan kehadiran Kurdi, hadir juga sebuah mobil ambulans yang kemudian merayap masuk ke pelataran rumah seolah mengantarkan Sahadi pulang.
Emak limbung hampir tak sadarkan diri, sesaat sebelum pingsan Emak sempat mendengar seorang berpakaian putih-putih berbisik ke arahnya “Pak Sahadi, mengalami kecelakaan saat perjalanan menuju pulang bu, beliau, istri serta anaknya tak tertolong lagi. Semoga ibu di beri ketabahan.”
***

Tidak ada komentar: