Halaman

Rabu, 22 September 2010

Surat Untuk Perempuan Dalam Bayang-bayang Lelakiku


Irama, Februari 2007
Surat Untuk Perempuan Dalam Bayang-bayang Lelakiku

Sebelumya aku minta maaf. Bukan maksud untuk mengusik kehidupanmu. Aku hanya perempuan yang sedang merasa galau dan tengah terusik akan keberadaan dirimu di tengah-tengah jalinan kasih antara aku dan lelakiku.

Aku menangkap sosok dirimu dalam bayang-bayang lelakiku, Aku menangkap sosok dirimu dalam binar mata lekakiku, Aku menangkap sosok dirimu dalam setiap hembusan nafas lelakiku,  Dan aku menangkap sosok dirimu dalam lelapnya tidur lelakiku. Hal itu benar-benar membuatku terpuruk, menghancurkan mimpi indahku, mengusik ketenangan jiwaku. 

Kau tahu? Tadinya tali itu kuat mengikat walaupun sudah mengkarat. Jembatan itu takan pernah putus berapapun berat yang melintasinya. Tapi kini jembatan itu terancam rubuh dengan seutas tali yang masih membentang dengan rapuhnya. Kau tidak hanya berjalan melintasinya, tapi juga telah melompat-lompat ditengah lintasannya. Jembatan itu kian rapuh.

Aku lengah. Kau tahu? harusnya aku dan lelakiku menjadi tokoh utama dalam lakon kehidupan ini. Kehadiranmu membawa bencana, kau telah mengambil sepertiga dari peranku. Aku tahu Skenario ini telah digariskan Tuhan untukku. Tapi kau benar-benar mengkudeta peranku.

Aku tak bermaksud menyalahkanmu, akupun tak bisa menyalahkanmu, aku tak punya kuasa untuk menjadikanmu seorang terdakwa. Bisa jadi kau memang benar-benar tidak tahu atau malah sebaliknya, sebenarnya kau memang sudah tahu ada kisah antara aku dan lelakiku.

Aku tak tahu apakah kau tahu atau tak tahu. Terlepas benar atau tidaknya, ada atau tiadanya. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau telah mengusik aku dan lelakiku.

Sudah kubilang sebelumnya bukan? Aku tak menyalahkanmu kau memang tak salah. Kau hanya melintasi jembatan itu dan mungkin kau bahkan tak menyadari bahwa kau telah melewati jembatan itu. Aku hanya ingin kau tahu, kau telah mengusik aku dan lelakiku.

Terlepas bagaimana ujung kisah jembatan itu, aku hanya ingin kau menyadari bahwa ada aku perempuan yang terusik akan keberadaanmu. Kau perempuan dalam bayangan lelakiku.

Aku tak punya kuasa melarangmu melintasi jembatan itu. Tapi sejujurnya aku akan sangat merasa bahagia jika kau tak melintasi jembatan itu. Ku harap kau mau mengerti bagaimana perasaanku saat ini.

Kalau boleh ku pinta, tolong kembalikan peran yang harusnya kumainkan. Semoga dengan ini kau bisa lebih memahami perasaan seorang perempuan yang terluka. Dan kuharap curahan ini hanya kau dan aku yang tahu.

Sekali lagi aku tekankan aku tak menyalahkanmu, memang kau tak salah. Aku hanya ingin kau tahu, kau telah mengusik aku dengan lelakiku.

 Perempuan Dalam Genggaman Lelakiku


Irama, September 2008
Surat Balasan Untuk Perempuan dalam Genggaman Lelakiku

Membaca surat darimu ibarat menelan jamu yang pahit pekat rasanya seperti tercekat. Bahasa dan tutur katamu begitu halus, menyentuh namun sekaligus menamparku. Kau tidak memakiku depan muka, tapi dapat kurasakan luapan amarah dan tamparanmu di muka.

Aku tak bermaksud menjadi kerikil di antara dua hati yang sudah menyatu. Mungkin kala itu aku hanya tengah melintas tanpa maksud singgah atau bahkan menetap di hati lelakimu. Aku benar-benar tidak tahu akan keberadaanmu, yang ku tahu lelakimu begitu memesona dan aku tak menghiraukan apapun statusnya. Diapun tak pernah bercerita bahwa sudah menggenggam bunga. Akupun selayaknya bunga yang tengah dihampiri kumbang untuk menyerap sarinya, aku tak kuasa mengelak atau menolak. Aku serahkan sariku untuk diisapnya, melepaskan dahaganya karena kupikir sari maduku akan dia sebarkan menjadi benih kebaikan dan kebahagiaan.

Sejauh ini kami benar-benar merasa bahagia, selalu dunia terasa menjadi milik kami berdua. Kami bak insan muda yang selalu jatuh cinta, segila percintaan Majnun dan Laila. Sampai tiba-tiba ada seseorang mengusik hariku, dengan sebuah amplop hitam yang tertuju ke alamat rumahku.

Kau tahu, aku benar-benar tersiksa ketika sebuah amplop berwarna hitam bertandang ke rumahku, di hantarkan seorang pria tak jelas asal-usulnya, begitu misterius, semisterius amplopnya. Kau nyata-nyata menuliskan kalimat di amplop hitam itu tulisan “SURAT UNTUK PEREMPUAN DALAM BAYANG- BAYANG LELAKIKU”  dengan huruf besar juga di cetak tebal, seolah ingin menegaskan betapa marahnya dirimu, betapa kau ingin membagi emosimu yang terbakar untuku.

Aku pun limbung ketika membaca surat itu, harusnya kaupun tahu, akupun tersiksa ketika memaknai isinya. Aku sama sepertimu, wanita yang sudah menyerahkan jiwa raganya untuk orang yang kita sebut “Lelakiku”.

Tapi satu yang mengganjal dalam benakku, benarkah aku sebagai bayang-bayang dalam kehidupan asmara kau dan lelaki kita? Apakah posisi ini tidak sebaliknya? Bisa jadi justru engkaulah si bayang-bayang itu. Jangan-jangan kau salah mengingat waktu. Siapa tahu justru sebaliknya, aku yang lebih dulu menjadi dambaan “lelaki kita” dan engkaulah yang memporak-porandakan jembatan cintaku.

Sepertinya kita perlu kembali mengingat-ngingat, sejak kapan kita mengenal “lelaki kita”. Siapa sebenarnya diantara kita yang menjadi perempuan pertama yang singgah di hati “lelaki kita”. Akupun sudah cukup lama mengenalnya, cukup sering menghabiskan waktu bersamanya, setiap saat memadu cinta. Seperti lagunya Glen Fredly, aku bersamanya sudah lebih dari seribu malam. Walaupun hanya malam-malam tertentu dia benar-benar memberi jiwa raganya untukku.

Dan kalau boleh aku pinta, seandainya akulah ternyata perempuan pertama itu maukah kau menghapus “lelaki kita” menjadi cukup “lelakiku”? Akupun tidak akan menyalahkanmu, asal kau tidak mengusik lagi aku dan lelakiku.


Perempuan yang kau sebut dalam bayang-bayang lelakimu

Irama, September 2008
SURAT UNTUK PEREMPUAN-PEREMPUAN “LELAKI ITU”

Sudah!! Kalian tak usah berebut, seperti binatang kelaparan berebut bangkai. Aku miris dan jijik melihatnya. Kalian seenaknya mengganti status suami orang dengan sebutan “lelakiku”. Peh!! Aku tak ingin lagi menyebutnya suami, cukup saja aku panggil dia “lelaki itu” . Apa kalian tidak punya rasa malu? Dia sudah punya istri, dan sudah membuahi perutku ini tiga kali.  Kalian perempuan-perempuan bodoh, benar-benar bodoh mau dibodohi lelaki bodoh. Sebenarnya kalian ini bodoh atau berlakon bodoh?

Kalian berebut, siapa yang pertama diantara kalian. Perlu kalian tahu, akulah yang pertama. Yang pertama dikawininya secara syah, legal secara hukum, adat maupun agama. Kalian hanya gundik, simpanan atau lacurnya suamiku. Aku jijik, sebagai perempuan harusnya kalian menjaga diri dan kehormatan. Tidak semudah itu membiarkan sembarang orang mengisap sari kita begitu saja. Harusnya kalian kenali dulu dia, bagaimana asal-usulnya, statusnya, tidak seenaknya mudah menerima hanya karena dia sanggup mencukupi biaya hidup kalian dengan ngasih uang dua juta sebulan. Kalian memang bodoh.

Aku sudah tak peduli lelaki itu sekarang mau memilih siapa? Aku? atau kalian? Aku juga sudah tak peduli kelaminnya mau mampir kemana saja. Yang aku pedulikan saat ini adalah tanggungjawab dia terhadap tiga anaknya yang lagi banyak maunya. Tak usah dia membiayai aku lagi. Toh selama 15 tahun usia perkawinan tak sekalipun dia memberi uang. Selama ini aku yang membiayai keperluan rumah dan bisa jadi turut andil membiayai hidup kalian. Asal kalian tahu, lelaki itu tak punya uang. Selama hidupnya dia hanya jadi benalu dikehidupanku. Dengan gagah dia menggunakan semua fasilitas kemewahan hasil dari keringatku.

Aku bangkrut sekarang. Bahkan dokter memvonisku punya kecenderungan tidak waras. Sebelum aku benar-benar tidak waras sebaiknya aku  mengingatkan kalian, menyadarkan kalian dari kebodohan. Terserah kalian nanti mau bagaimana. Yang jelas jika aku benar-benar jadi perempuan tidak waras, jangan lagi ganggu lelaki itu. Karena dia milik ketiga anaknya. Anak-anaknya yang lebih berhak mendapat cinta dan kasih sayangnya. Bukan perempuan-perempuan bodoh seperti kita.

“Istri dari lelaki kalian”

***
Lelaki ini menghela nafas panjang, benar benar panjang. Seolah dia sedang dijemput oleh sang maut. Tangannya berkeringat dingin. Jantungnya sudah berdegup kencang tak berirama dan tak beraturan. Matanya merah, entah karena amarah atau karena resah.

Layar monitor dihadapannya masih menyala, tulisan-tulisan dari ketiga perempuan itu masih terpampang menantang di bagian blog-nya. 

Luar biasa, pikirnya. Perempuan-perempuan itu tak pernah melabraknya, padahal mereka sudah tahu kebohongan dan perselingkuhan yang dilakukannya. Mereka tidak bicara langsung padanya, mereka hanya mogok bicara, mogok di kunjungi, bahkan mogok di gauli.

Dia kembali menerawang, mencoba mengenang masa-masa indah yang pernah dia rasakan bersama tiga perempuan itu. Perempuan-perempuan yang sangat mengagumkan pikirnya.

“Mas, sudah malam belum tidur?” suara perempuan dari belakang membuyarkan lamunannya.
“Belum dek, mas masih mau mengerjakan tugas..” jawabnya seraya secepat kilat menutup tampilan layar blog-nya.
Perempuan itu lalu menghampirinya, duduk di pangkuannya dan menggelayut mesra. Seraya mencumbu mesra.
“kapan kamu mau nikahi aku, mas?” Tanpa menunggu waktu, bibir perempuan itu dibungkamnya dengan ciuman yang memburu.

***



2 komentar:

Catatan AzzRa mengatakan...

Astagfirullahhaladzhimmm.....cerita yg buruk n mengerikan...amit2 deh... :D tapi ini bener2 tulisan yang oke punya ta...hebat kamu...ILIKEIT...LANJUTKAN! :)

IRHA TYRAMA mengatakan...

hehe, makasiy bunda azzam.. ni baru memulai lagi. Semoga msh bisa berkarya.