Halaman

Rabu, 27 Oktober 2010

Dosaku untuk Bapak

"Rasanya aku sedang muak. Ingin marah dan memuntahkan semua yang ada di kepala. Aku kesal, benci, benci sebenci bencinya sama bapak. Tega teganya bapak berbuat ini, mempermalukanku, membuat teman2 ku mengolok-olok ku. Aku benci sama bapakkk!"

Aku berteriak di depan wajah bapak yang sedang tak ingin aku anggap bapak, rasanya tak ingin lagi melihatnya. Aku tak menghiraukan suara tangis ibu yang tersedu sedan di pojok ruang tunggu. Aku luapkan amarahku pada bapak, biar bapak tau aku sangat kecewa.
Bapak hanya terdiam, menunduk dalam. Tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Sesekali dia menghela nafas seolah nafasnya begitu berat. Tapi aku sedang tidak peduli itu. Aku sangat kesal.

Setelah puas memaki, aku pergi tanpa pamit jangankan salam melihat wajahnya saja aku tak ingin. Kubiarkan ibu tetap menangis disana. Wanita memang cengeng, tak bisa diharapkan. Situasi begini hanya bisa menangis. Semakin membuatku ingin marah.
Rasanya aku menjadi haus. Bukan air minum yang aku cari tapi minuman yang bisa membuatku lupa akan semua omong kosong ini. Aku menghambur masuk ke tempat karaoke favoritku bernyanyi sambil minum sampai benar-benar mabuk. Rasanya lidahku sudah pahit, perutku juga terasa panas tapi aku ingin tetap minum. Aku minum sepuasnya sampai aku tak sadarkan diri.
 ***
Aku terbangun dalam tidurku, tapi entah saat ini aku ada dimana? Ruangan ini begitu gelap. Aku hanya bisa melihat samar-samar. Ruangan ini begitu pengap dan bau. Rasanya aku kesulitan bernafas. Tiba-tiba ada sebuah cahaya keluar memantul pada dinding. Memberi sedikit terang, cahaya itu membesar kian membesar seperti bentangan layar infocus. Aku diam dalam kebingungan, ingin aku bertanya maksud semua ini. Tapi pada siapa? Di ruangan ini hanya ada aku. Pantulan cahaya tadi berubah menjadi tampilan video. Semakin membuatku bingung. aku seperti di ajak menonton bioskop yang isinya kisah perjalanku dari mulai bayi sampai kini.

Jelas terlihat dilayar itu aku yang masih bayi sedang asyik bermain bersama bapak dan ibu. menikmati senja dengan kegembiraan. Bapak masih sangat terlihat ceria dan tampan ibupun sangat cantik dan anggun. Bapak berkali-kali menciumku dan berkata,

"Jagoan bapak yang pintar.."

Aku terdiam menatap layar itu, ada rasa ngilu seketika di jantungku. Gambar itu bergerak lagi, kali ini aku sudah berumur 5 tahun. Aku ada di pesta ulang tahunku. bapak dan ibu serta teman-teman kecilku menyanyikan lagu ulang tahun untukku dan aku tengah bersiap meniup lilin. Sejenak sebelum ku tiup, bapak menahanku.

"Kamu ingin hadiah apa dari bapak nak?" tanyanya dengan senyum hangat. Spontan aku jawab,
"Aku ingin pergi ke Disneyland pak," karena memang aku sangat ingin pergi ke Disneyland bertemu dengan tokoh kartun disnet favoritku.

Bapak termenung sesaat, kemudian tersenyum seraya memelukku
"wah! Bapak salah bawa hadiah. Bapak pikir kamu ingin sepeda. Bapak sudah belikan kamu sepedah tuh." bapak menunjuk mang Jejen yang sedang membawakan sepeda BMX untukku.
"Nah, sekarang tiup lilinya dan sebut permintaanmu tadi! Semoga bisa terwujud." bapak menepuk pundakku.Aku tersenyum dan menurutinya, ku tutup mataku dan meminta agar bisa jalan-jalan ke Sidney.

Saat membuka mata, aku sudah berada di California, bersama bapak dan ibuku. Aku begitu gembira, sangat gembira. Aku mengunjungi Disneyland, bermain dan bertemu dengan tokoh-tokoh kartun favoritku.

Gambarnya kembali berjalan, kali ini aku sudah SMP, sedang meminta bapak untuk membelikanku motor. Bapak tidak menjawab ataupun menolak, dia hanya diam. Aku terus merengek menunggu jawaban bapak. Sampai akhirnya bapak mengeluarkan suaranya yang sudah mulai terdengar berat
"Nanti bapak usahakan." jawabnya singkat tapi cukup membuatku tenang, jawaban itu cukup baik dibanding jawaban tidak.

Seminggu kemudian bapak datang membawa motor baru yang keren. Aku teriak histeris. Meloncat-loncat seperti anak kecil bermain balon. Ibu datang dari arah dapur dengan wajah tidak senang
"Bapak dapat uang darimana?" tanya ibu mengagetkanku. Bapak tersenyum,
"Ada rejeki tambahan bu. Tenang saja!" jawab bapak sambil berlalu masuk ke kamar.

Aku tak menghiraukan omongan ibu, rasa bahagiaku tak bisa d bendung, saat itu juga aku naiki motorku dan berkeliling kompleks berniat pamer pada teman-temanku.

Gambar kembali berjalan, kali ini aku sudah kelas 3 SMA. Aku sedang duduk bersama bapak dan ibu menikmati makan siang. Tiba-tiba bapak bertanya padaku,
"Kalau kamu lulus nanti kamu minta hadiah apa nak?”
Ibu memandangku dengan wajah khawatir, aku tak mengerti maksud dari tatapan ibu. Akupun spontan menjawab,
"Mobil sport pak, teman-temanku ke sekolah pake mobil. Masa aku masih pake motor butut ini" jawabku penuh harap. 

Bapak menunjukkan raut muka terkejut, lebih-lebih ibu. Aku menatap mereka dengan tatapan memelas
"Semoga bukan jawaban tidak" ujarku pelan sambil melanjutkan makanku.
"Kamu terlalu berlebihan Wahyu! minta mobil sport, uang dari mana?" Jawab ibu membuatku kecewa, seketika darahku terasa mendesir.
"Kalau bapak sama ibu pengen aku lulus, belikan aku mobil! Impas!" jawabku sambil bergegas pergi masuk kamar.

Setelah berita kelulusanku bapak datang membawakan mobil sport warna merah untukku. Aku sangat girang melompat-lompat tak terkira. Ibu hanya menatapku seraya menangis. Aku tak peduli ibu menangis karena aku sedang gembira.

Tiba-tiba gambar itu berhenti, muncul wajah yang asing di depanku.
"Gimana Wahyu? Tontonan menarik bukan?" Tanyanya membuatku kaget. Aku tak mengenalnya tapi dia mengenalku.
"Masih menyimpan amarah pada bapakmu?" Tanyanya lagi membuatku semakin bingung.
"Apa maksudmu? Siapa kamu? Apa-apaan ini?" Tanyaku setengah marah dan bingung.
"Itu adalah gambaran kehidupanmu, kamu masih menyalahkan bapakmu setelah tau apa sebab bapakmu berbuat ini?” Tanyanya lagi seolah menamparku.
"Maksudmu?"
"Coba kamu pikirkan, siapa yang membuat ayahmu jadi gelap mata? Bukankah kamu? Permintaanmu, rengekanmu membuat bapakmu tak kuasa melihat tangismu. Dia penuhi semua maumu karena ingin melihatmu bahagia. Dia tak ingin kamu mengalami hidup seperti dia hidup dimasa kecilnya yang prihatin. Bapakmu menurutimu karena tak kuasa melihat tangismu."
"Tapi kan tak perlu korupsi" jawabku masih tak terima
"hehe..jangan naif Wahyu! Coba bayangkan berapa gaji bapakmu? Dan berapa besar permintaan-permintaanmu itu? Belum gaya hidupmu yang boros. Kamu pikir berapa gaji bapakmu?"

Aku terdiam, kata-katanya membuat jantungku terasa sakit. Ada rasa perih mengiris di hatiku, rasanya aku ingin menangis.
"Menangislah, dan menyesallah! Kamu sudah membuat bapakmu menangis. Dia hanya ingin melihatmu bahagia tanpa tangis"
Kini dadaku terasa sakit, aku menangis menyesali apa yang telah aku perbuat. Aku bodoh, serakah tak tau terimakasih. aku yang menyebabkan bapakku kini dipenjara. Aku menyesal.

***
Aku terbangun, rasa sakit di dadaku benar-benar terasa sakit. Ada aliran hangat yang membasahi bajuku. Darah! Dadaku mengeluarkan darah, rasanya sangat sakit. Aku mencoba bangkit dari tidurku. Melihat sekelilingku, orang-orang mengerumuniku. Seorang bapak menghampiriku,
"Kamu tidak apa-apa nak? Tadi kamu mabuk dan di rampok. Dadamu tertusuk." Keterangan bapak itu membuatku sadar. Aku tadi bermimpi. Gambar-gambar tadi adalah mimpi.
"Sekarang temui bapakmu sebelum terlambat!" Ucap bapak tadi sambil tersenyum. Bapak di depanku adalah bapak yang ada dalam mimpiku tadi.

Aku bergegas bangun dan berlalu menuju kantor polisi dimana bapak di tahan. Aku tak peduli dengan rasa sakit di dadaku. Tusukan ini tak berarti apa-apa di banding rasa sakit bapak karena sikapku. Aku terus berlari membiarkan ceceran darah menetes sepanjang jalanku.

***
Aku berlutut dan menangis,
"Maafkan aku pak!" aku tak sanggup lagi berkata, hanya kata maaf yang bisa ku ucapkan di antara rasa sakit dan nafas yang begitu berat. Darahku terus mengalir, bapak memelukku hangat, belaiannya membuatku tertidur lelap dipangkuan bapak.   

Tidak ada komentar: