Halaman

Selasa, 26 Oktober 2010

Teror Dalam Kehidupan Sari


Di tengah rasa kantuknya Sari terpaksa bangun dan menyeret langkah kakinya yang berat. Dia tau sekarang ini kondisinya sangat berubah. Dia tidak lagi menjadi anak manis yang bisa tidur pulas seenaknya. Dia juga tidak lagi menjadi anak yang selalu dengan mudah menadahkan tangan meminta uang saku pada orang tuanya.
Kepergian orangtuanya untuk selamanya memaksanya untuk menjadi anak mandiri. Membanting tulang untuk menghidupi dirinya dan adiknya yang masih berumur empat tahun. Semestinya tidak janggal melihat orang bekerja untuk membiayai kehidupannya. Tapi untuk kasus Sari benar-benar janggal. Sari masih berusia 12 tahun. Jika sekolahnya dilanjutkan dia masih bisa duduk di kelas 1 SMP. Tapi sekolah hanya jadi tinggal kenangan untuk Sari. Dia harus bekerja demi dia dan adiknya. Kepergian orang tuanya yang sangat tragis merenggut semua kebahagiaan dia dan adiknya.
Kejanggalan lain yang di alami Sari adalah, karena sebenarnya dia banyak memiliki saudara. Ada tante dan omnya juga uwaknya. Tapi sayang mereka kini seperti membuang muka tak peduli. Status kematian ayahnya yang dikaitkan dengan teroris membuat semua orang yang asalnya memiliki hubungan dekat dengan Sari langsung memutusnya secara sepihak. Alasannya sangat tidak masuk akal. Mereka takut disangka teroris juga. Tidak adil bagi Sari, bocah yang tidak mengerti harus menghadapi ini semua. Yang paling menyedihkan, Sari tidak bisa berziarah ke makam orang tuanya. Karena memang tidak ada makam untuk kedua orangtuanya. Warga sekampung beramai-ramai menolak jenazah orangtuanya dimakamkan di kampung mereka, dengan alasan takut mengotori ahlak warga sekampungnya. Alasan yang jelas-jelas tidak masuk akal dan tidak manusiawi.
Sari dengan kepolosannya hanya bisa pasrah.   Tak mengerti apa yang ada di pikiran orang dewasa. Tidak sedikit orang mencibir, menghujat bahkan mengacuhkannya. “Anak pembunuh”, “anak teroris” gelar yang di sandangkan orang-orang pada dia dan adiknya. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak seusianya bahkan lebih kecil darinya mengolok-mengolok tanpa mereka sendiri mengerti maksudnya. Anak-anak itu hanya meniru orang-orang dewasa saja, pikirannya masih sama polosnya.
Sari dan adiknya lebih memilih meninggalkan kampung dan rumah tempat dia dan adiknya lahir dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Sekarang tempat itu hanya tinggal berbau amarah dan dengki dari orang-orang yang melaluinya. Sari ditemani adiknya yang masih sangat polos berjalan tanpa arah, seraya berharap mendapat kehidupan yang lebih baik.

***

Tujuh tahun berlalu, Sari menjadi gadis yang memesona dengan jilbab yang menutupi tubuh dan mahkotanya. Auranya terpancar dari mata yang lembut dan senyum yang halus. Kehidupan sari sungguh lebih baik, dia sudah melupakan tragedi yang menyesakkan hatinya. Sari menjadi guru ngaji di sebuah desa kecil, dan menjadi dambaan para pemuda. Namun dia telah menjatuhkan pilihannya pada Aziz. Pemuda yang cakap dan pintar lulusan pesantren ternama. Kehidupan Aziz memang tidak bergelimang harta. Namun Sari tak mempersoalkannya, melihat Aziz yang pintar dan bersahaja serta ahlaknya yang mulia membuatnya percaya Aziz akan menjadi imamnya dalam mengarungi bahtera kehidupan.


Kini Sari tengah menyiapkan diri menunggu hari pernikahan. Minggu depan adalah hari dimana Aziz akan mengucapkan akad nikahnya di hadapan penghulu dan saksi. Namun, pancaran mata sari terlihat gelisah. Senyumnya yang halus kian memudar.

"Sudah toh nak, orang mau nikah harusnya sumringah ini malah gelisah. Apa yang kamu pikirkan?" Suara ibu angkatnya menghenyakan lamunannya.

"Saya juga gak ngerti bu, koq hati saya semakin hari semakin gelisah. Kenapa ya bu?"

"Ya wajar toh nak, semua orang pasti begitu. Gelisah karena gak sabar pengen cepet cepet hari H." Ibu sari tertawa menahan geli.

"Wis toh, ga usah terlalu dpikirkan. Bismillah aja semoga semua lancar!" Pesan ibu sebelum meninggalkan Sari yang masih merenung di kamar.

Sari masih tidak bisa tenang, dadanya kian terasa menyesak. Ia bergegas ke kamar mandi mengambil air wudlu lalu shalat. Dalam doanya dia hanya menangis. Menangis tanpa meminta, menangis tanpa berkata hingga terlelap dalam sujudnya.

***

"Ternyata ini yang membuat hati saya selalu tidak tenang Mas?" Sari menahan kekecewaannya pada Aziz.

"Maafkan aku dek, aku tak bermaksud menyakitimu. Semestinya semua sudah tak ada hubungannya lagi. Tapi, aku masih saja menjadi incaran polisi"   Suara parau Aziz menyampaikan kelimbungannya.

"Lalu sekarang bagaimana mas? Apa aku harus mengalami ini lagi? Setelah orang tuaku meninggal sebagai teroris. Kini calon suamiku juga? Astagfirullah!" Air matanya kian deras, tak bisa membayangkan rasa sakit yang dulu harus dirasakannya lagi.

"Berdoalah Sari! Aku hanya diminta sebagai saksi. Polisi tau aku sudah tidak terlibat. Berdoalah dan tetap yakin!" Aziz tersenyum memberi semangat sebelum pria-pria berseragam polisi membawanya pergi. Sari menatap nanar, menghela nafas panjang.

Suara sirine mobil polisi lambat laun terdengar merambat jauh mengantar kepergian Aziz pada sebuah ketidakpastian namun masih menyisakan pengharapan. Dalam hatinya dia berharap tidak lagi mendengar kata “TERORIS” sepanjang sisa usianya, karena kata itu ibarat teror dalam kehidupan Sari.

Subang, 241010

Tidak ada komentar: