Halaman

Minggu, 26 September 2010

Dua Mangkuk Cuanki Untuk Gaun Dinda

Sore itu hujan turun sangat deras, langit berawan kelam hitam seperti layaknya hari sudah malam. Dalam deras hujan semua orang akan memilih berdiam berlindung di dalam rumah-rumah yang mereka sendiri anggap istananya. Tapi tidak untuk Kodir. Hujan deras tidak mematahkan semangatnya untuk terus berjalan, membawa tanggungan di pundaknya dan mengetuk-ngetuk kentungan kecilnya. Dalam kedinginan, peluh yang terbasuh air hujan, kodir menahan getir. Seraya berharap siapapun orang yg sedang berlindung di istananya mendengar suara ketukan kentungan kecilnya dan memanggilnya membeli cuanki buatan tangan gesit istrinya. Ketika mengingat istri, air matapun menetes. Kodir sudah tak sanggup lagi mengalirkan air mata dengan deras, air matanya sudah hampir kering karena setiap harinya dia selalu menangis. Tidak! Kodir tidak cengeng! Jangan pernah menganggap tangisan bentuk sikap kecengengan! Tangisan Kodir adalah jalan meluapkan beban yg dipikulnya. Hanya tangis yang menjadi pelampiasannya ketika dia sudah tak sanggup membeli beras untuk di makan sehari-harinya. Tangisan membuat dia, istri dan anaknya melupakan rasa lapar di perutnya. Tangisan yang membuat mereka tidur lelap dan membawa rasa laparnya dalam mimpi. Ketika fajar menyingsing, mereka menghapus rasa laparnya dengan harapan hari ini ada orang yang mau membeli cuankinya.

Harapan adalah penyambung hidup Kodir dan keluarganya, tanpa sebuah harapan rasa lapar yang berhari-hari akan menjadi berat dan petaka. Seraya membawa tanggungan di pundaknya, berjalan berkeliling menembus hujan dan angin, matanya menusuk tajam ke setiap rumah-rumah yang di laluinya, tatapan tajamnya tidak untuk berbuat jahat hanya mengharap penghuni rumah keluar dan memanggilnya.

Rumah demi rumah dia lalui, kompleks demi kompleks dia lewati. Tak ada satupun yg memanggilnya. langkahnya semakin terasa berat. Hari ini dia berjanji pada putri sematawayang nya untuk membelikannya gaun putih berenda. Masih teringat jelas beberapa hari yang lalu Dinda berlenggak-lenggok didepannya sambil memakai kain samping rombeng milik ibunya,

"Bapak, Dinda ingin menjadi tuan putri yang cantik.." Celotehnya dengan berjalan lenggak-lenggok memeragakan gaya seorang putri. Kodir tersenyum, di raihnya Dinda dalam pangkuannya

"iya Dinda sayang, kamu adalah tuan putri bapak yg sangat cantik. Selama Dinda berhati baik pasti akan menjadi tuan putri yg cantik"

"Tapi Dinda tidak terlihat cantik dengan kain rombeng ini, pak. Dinda ingin sekali memakai baju tuan putri yang berwarna putih berenda. Dinda ingin memakainya di hari ulang tahun Dinda pak."
Wajahnya sedikit memelas meruntuhkan hati Kodir, jangankan untuk beli baju, beli beras untuk makan sehari-haripun sangat berat. Tapi Kodir tak ingin melukai hati putrinya, dia tersenyum memberi harap "Bapak, akan berusaha Dinda! Tunggu saja baju putri berendamu akan datang di hari ulang tahunmu." bukan main riangnya hati Dinda, senyumnya mengembang menggambarkan rasa bahagianya. Sedang Kodir menahan perih dalam senyumnya.
Hujan sore ini menjadi saksi, Kodir terus berjuang demi memenuhi harapan putrinya. Hanya butuh enam ribu lagi agar gaun itu bisa di belinya. Sebulan dia mengumpulkan uang dari hasil penjualan cuankinya untuk memenuhi harapan putrinya. Besok adalah hari impian putrinya, namun uangnya belum cukup untuk membeli gaun itu. Masih kurang enam ribu lagi  sebenarnya cukup dengan dua mangkok cuanki yg terjual di hari ini agar Kodir bisa menghadiahkan baju di hari ulang tahun dinda besok. Namun, harapan nya kian memudar, senja semakin gelap. Seharian ini dia berkeliling, tak satu mangkuk pun terjual. Dalam harapan yang tak menentu, Kodir terus berjalan. Dia tak ingin melukai hati putrinya. Dalam bimbangnya dia meneruskan langkahnya dengan gontai, irama ketukan kentungan kecilnya mengiringi langkah kakinya. Seperti nyanyian sendu untuk pengiring kehidupan Kodir.
Suara adzan magrib berkumandang. Kodir menghentikan langkah kakinya sejenak. Meninggalkan tanggungannya lalu berjalan ke arah suara adzan memanggil. Membasuh muka ketika wudhlu seraya menghapus air matanya yang hanya setetes namun perih. Dalam doanya Kodir meminta Tuhan memberi jalan terbaik untuk keluarganya. Tak ingin menelantarkan anak dan istrinya.
Setelah solat dan berdoa, perasaannya kini lebih tenang. Kodir menyerahkan hasilnya pada Tuhan, dia merasa sudah beruapaya semampunya. Dalam hati Kodir berharap bisa membahagiakan Dinda dengan cara lain tanpa gaun putri yang di dambanya.
Sesaat tanggungan di angkat di atas pundaknya, terdengar suara seorang perempuan yang memnggilnya dari jarak agak jauh.   
"Mang! Cuanki…!" Teriak seorang perempuan di dalam rumah yang sederhana namun masih sangat jauh lebih baik dibanding rumahnya.
Kodir berlari menghampiri dengan hati menggebu-gebu. ”Dinda akan mendapat gaunnya”. Gumamnya dalam hati.
"Cuanki, satu mangkuk ya mang!" Teriak perempuan itu membuat Kodir menjadi murung kembali. Kenapa tidak dua pikirnya? Hanya dengan dua mangkuk yang terjual Kodir bisa membeli gaun itu sekarang. 
Perempuan itu menatap kodir dengan tatapan menyelidik. "Mang kenapa? Kayaknya lagi sedih? Mang sakit?" Perempuan itu terus menatap Kodir yang sedang meracik bumbu cuankinya dengan perasaan hampa. Seperti terhipnotis rasa empati perempuan itu, tanpa sadar Kodir menceritakan kegundahannya, padahal sebelumnya Kodir adalah orang yang sangat tertutup. Istrinya pun tak pernah mendengar keluh kesahnya.
Perempuan itu menyimak baik-baik cerita Kodir, dahinya mengernyit seolah sedang berpikir bagaimana cara membantu Kodir. Perempuan itu juga bukan kaum yang berada, satu mangkuk cuanki yang hendak di belinya adalah jatah makan malam dia bersama suaminya. Uangnya hanya cukup untuk membeli satu mangkuk.
"Maaf mang, bukan maksud merendahkan. Tapi kalau mau saya punya gaun bekas putriku dulu. Walaupun bekas tapi baru dipakai sekali koq. Gimana?"
Kodir tersenyum lebar sumringah. Tak apa-apa pikirnya, putrinya tak meminta baju baru. Dia hanya ingin memakai gaun seorang putri di hari ulang tahunnya. Walaupun bekas Kodir yakin Dinda tetap akan senang.
Kodir sangat bersyukur, ketulusan perempuan yang bersahaja itu membuat bendungan di hatinya luruh. Kini Kodir bisa bernafas lega. Tuhan memang telah menjawab doanya dengan cara yang lain.
Kodir mempercepat langkahnya menuju rumah. Gaun putih berenda sudah ada di tangannya, tak sabar ingin melihat putrinya memakai gaun itu di hari ulang tahunnya. Terbayang wajah Dinda yang tersenyum merekah, Dinda akan menjadi tuan putri yang sangat cantik.
***
"Bapak, makasih yah. Gaunnya cantik sekali. Tapi maaf Dinda tidak bisa memakainya. Rasanya sakit pak" Kata-kata terakhir Dinda saat maut menjemputnya.

Ledakan kompor gas telah menghantarkan Dinda pada maut dan memupus harapannya menjadi putri. Kodir menghela nafas panjang. Seraya menatap langit seolah berdialog dengan Tuhan, "Engkau telah menjawab doaku dengan cara lain, Tuhan!" ”Ini mungkin jalan terbaik menurutMu agar anakku tidak lagi hidup terlantar”                       

Tidak ada komentar: