Halaman

Rabu, 22 September 2010

Arummanis


Irha Tyrama
“Tott...toottttt.........kittttttttttttttttttttt, Brakk........Allahu Akbar!!!”  daun telingaku menangkap samar-samar suara gaduh itu. Asal suara tak jauh dari keberadaanku. Di tengah gerimis orang-orang mulai menghambur mengerumuni asal suara gaduh tadi. Aku tidak berpikir akan menjadi bagian orang yang berkerumun disana, gerimis yang mulai menderas membuat akal sehatku untuk segera bergegas pulang. Tapi entah kenapa ada perasaan yang mengganjal, seolah suara hatiku memanggil untuk melihat apa yang terjadi dengan suara gaduh itu.
Suara hati ini begitu kuat memanggil, ada perasaan cemas yang tak menentu. Dengan langkah pelan ku balik arah menuju orang berkerumun. Aku harus berusaha keras menerobos kerumunan orang-orang. Mereka berkerumun seperti membuat barikade, setelah bersusah payah mencari celah, akhirnya mataku tepaku manatap sesosok lelaki paruh baya, dengan darah segar mengalir dari kepalanya. Bau amis menyodok hidungku, lelaki tua itu terlentang kaku. Aku diam terpaku.
***

Aku si kecil yang hidup penuh dengan kesederhanaan. Orang tuaku digariskan Tuhan sebagai rakyat jelata yang hidup pas-pasan. Ayahku seorang guru ngaji dengan penghasilan ala kadarnya. Sedang ibuku menjadi buruh tukang cuci di Kompleks perumahan kampung sebelah. Kondisi ekonomi yang murat-marit memaksa kami anak-anaknya untuk mematuhi kesepakatan yang di buat secara sepihak. Bahwa kami tidak diperkenankan jajan karena tidak ada jatah untuk jajan. Aku dan kedua adikku di beri plihan yang menyulitkan. Diminta memilih sekolah atau jajan. Terang saja kami sepakat lebih memilih sekolah. Dengan demikian kami berangkat sekolah tanpa uang saku, hanya dibekali nasi kepal yang sudah dicampur garam, kadang kalau ibu lagi dapat uang lebih menu bekal kami di tambah kerupuk.
Masa kecilku memang cukup prihatin. Tapi aku tak merasa kecil hati. Kalaupun aku tidak diberi uang jajan. Setiap hari aku masih bisa membeli harum manis jajanan kesukaanku. Aku tertolong oleh usaha yang di geluti Mang Ujang. Mang Ujang adalah pahlawan masa kecilku. Tahu kenapa? Mang ujang adalah tukang rongsokan di kampung kami. Mang ujang menjual harum manis-nya tidak ditukar uang, melainkan di tukar barang rongsokan. Barangnya bisa berupa besi atau botol bekas. Anak miskin di desaku tidak hanya aku saja, beberapa teman lain juga nasibnya tidak jauh berbeda dariku. Setiap sore, mang ujang menjadi sosok yang selalu kami nantikan. Hanya dengan 1 buah botol bekas yang kita peroleh dari dapur atau bahkan mulung ke tempat sampah kita bisa menikmati dua sendok harum manis yang lezat. Anak-anak kurang mampu di kampungku benar-benar tertolong dengan profesi Mang Ujang. Mang Ujangpun demikian. Tiap hari dia akan menjual barang rongsokannya dari kami ke pengumpul. Mang Ujang cukup bermodalkan satu kaleng kerupuk Harummanis setiap harinya. Tanpa Mang Ujang sadari Profesinya telah menyelamatkan kami dari ancaman tidak jajan dalam sehari.
Karena aku punya dua adik, jadi aku harus mendapatkan 3 botol bekas, supaya adaik-adikku juga kebagian harum manis. Setiap pulang sekolah aku dan adikku suka menyempatkan diri mampir ke tempat-tempat sampah di kompleks perumahan sebelah. Mecari botol bekas menjadi pekerjaan sampingan sekaligus hobi kami. Kami sudah merasa cukup puas dengan mencari 3 botol bekas saja sehari. Bagiku 2 sendok harum manis Mang Ujang sudah mewakili hasrat jajanku.
Sampai pada suatu hari, aku dan adikku merencanakan akan mentraktir sepupu yang rencananya akan datang sore ini. Aku dan adikku mencari botol bekas lebih banyak dari biasanya, kami menargetkan mengumpulkan 6 botol bekas untuk bisa mentratir sepupuku harummanis lezat milik Mang Ujang. Karena target botolnya banyak kami tidak lagi mencari di tong-tong sampah depan rumah, melainkan langsung ke tempat pembungan sampah sementara. Bau busuk sampah tidak menghalangi niat kami untuk mencari botol, karena dalam bayanganku wajah berseri sepupuku mengalahkan bau busuk sampah ini.
Hari sudah hampir sore, tanpa terasa kami justru mendapatkan botol lebih banyak. sepuluh botol bekas membuat aku dan adikku kegirangan. Peluh bercucuran. Seragam merah putih kami belepotan bau sampah. Tapi kami pulang dengan perasaan senang tak terkira.
Sampai di rumah, ke-dua sepupuku ternyata sudah datang. Kami pulang setengah berteriak ingin memeluk mereka. Adi dan Doni menyambut kami dengan senang. Tapi acara peluk-memeluk urung dilakukan setelah mereka sadar baju kami kotor dan bau sampah. Ibu langsung mengomeliku. Dan aku dihukum untuk mencuci seragam punyaku dan adiku sekaligus.
 “Sana cuci seragam mu dan adikmu, kalau tidak besok kamu tidak bisa pergi sekolah!” begitu ancaman ibu.
Ancaman ibu memang sangat beralasan, aku dan adikku hanya punya seragam satu. Jadi mau tidak mau aku harus mencucinya sekarang supaya besok pagi kering dan bisa di pakai. Selama aku mencuci seragam, aku menugaskan adikku untuk berjaga-jaga di depan rumah kalau-kalau Mang Ujang lewat.
“Ingat Den, kalau ada Mang Ujang, tukar botolnya enam saja dulu, sisanya lumayan buat besok.” Pesanku pada adikku Deni sebelum aku menunaikan hukuman mencuci. Sembari mencuci perasaanku tidak tenang, karena suara yang dinanti-nanti tak kunjung datang. Teriakan ”rongsok-rongsok..harumanis !!!” adalah panggilan yang selalu kami nantikan. Tapi sampai acara mencuci selesai suara Mang Ujang ta kunjung datang.
Aku bergegas keluar mencari adikku, dia masih duduk di depan berharap cemas sambil memegang erat enam botol bekas. Sepupuku juga duduk di sebelahnya turut berharap cemas.
“Mang Ujang belum datang, Den ?” Tanyaku cemas, sambil melongok ke arah jalan yang biasa dilalui Mang Ujang. Adikku menggeleng tanda kecewa. Sepupuku juga menunjukan raut muka kecewa.
Kami menunggu dengan gelisah. Sampai magrib tiba, Mang Ujang tak kunjung jua. Sepupuku pulang dengan perasaan kecewa, terlebih aku dan adikku. Kami gagal mentraktir harummanis Mang Ujang. Padahal harummanis itu sudah ku janjikan seminggu yang lalu ke sepupuku. Hari ini kami lalui tanpa harummanis. Botol bekas kami simpan dikolong kasur, dengan harapan besok masih bisa melahap harumanis Mang Ujang.
Besoknya, ketidakhadiran Mang Ujang menjadi bahan pembicaraan alot di kampung kami. Ternyata tidak hanya aku dan adikku yang kecewa, teman-teman kami juga sama kecewanya. Kekecewaan ini ternyata harus kami rasakan hari demi hari, mingu demi minggu sampai berbulan-bulan, karena Mang Ujang benar-benar tidak kembali. Seminggu pertama anak-anak masih berharap-harap cemas menanti Mang Ujang. Lama-lama ketidakhadiran Mang Ujang menjadi sangat biasa. Kami sudah lelah berharap. Mang Ujang tak lagi dinanti. Terlebih lagi sekarang dikampungu sudah ada warung serba ada. Ternyata disana dijual harummanis seharga Rp.500,- per plastik. Beberapa dari kami sudah melupakan harumanis Mang Ujang. Lain halnya dengan aku dan adikku. Peraturan dirumahku tetap berlaku, tidak ada uang jajan. Harumanis di warung itu tak mungkin kami gapai. Harapan kami adalah Mang Ujang, ada perasaan sakit yang menyayat ulu hati. Aku seperti di khianati oleh Mang Ujang.


Beberapa bulan setelah Mang Ujang menghilang, aku dikagetkan dengan suara yang seakan memanggil kami.
“Rongsok...rongsok...!!!!!!!!!!!!” dari kejauhan aku menangkap suara itu. Aku dan adikku bergegas megambil botol yang masih kami simpan di kolong kasur. Dengan perasaan yang meluap-luap kami berlari memanggil mang ujang.
“Mang...mang....harumanis.........”teriakku girang.
Pesona bahagiaku langsung membeku, karena tukang rongsok itu bukan Mang Ujang. Aku dan adikku memandang kecewa. Terlebih lagi, tukang rongsok baru itu tidak menukar botol dengan harumanis tapi dengan uang. Dia menukar Rp. 1000-, untk 4 botol. Kami terdiam. Dari belakang ibu mengambil semua botol yang berhasil kami simpan.
“Ya udah mang. Saya tukar semua botol bekas ini.” Teriak ibu tanpa pamit pada kami si yang empunya botol. Spontan aku dan adikku menarik botol-botol itu tanda tidak setuju.
“jangan bu, itu buat di tukar ke Mang Ujang. Jangan bu!!!” teriakku setengah memohon. Adikku juga ikut teriak sambil menangis. Ibu bersikeras menukar botol-botol itu.
“Mang Ujang udah gak akan kesini, lagian botol di rumah sudah terlalu banyak. Rumah kita jadi kayak tempat sampah.” Tolak ibu, sembari menyodorkan setengah karung botol bekas hasil jerih payah kami.
Kami tidak ada pilihan lain selain melepas botol-botol itu. Karena dari cerita tukang rongsok itu, aku baru tahu kalau Mang Ujang sudah pindah rumah setelah istrinya meninggal. Kini Mang Ujang merantau ke kota. Ibu mencoba menghiburku dengan membelikan harum manis dari warung. Tapi sungguh rasanya sangat lain. Harummanis yang kumakan kini tak se harum dan semanis harumanis Mang Ujang.
***
Suara ambulans membuyarkan kenangan masa kecilku. Aku tak kuat menahan tangis. Suaraku lirih.
“Mang Ujang...” panggilku dengan nada pelan. Aku mencoba mendekati jasad itu. Diantara sedu sedanku polisi menanyaiku tentang identitas Mang Ujang. Apa daya yang kutahu tentang lelaki tua tak bernyawa itu hanyalah Mang Ujang penjual harummanis.
Kemudian samar-samar dari salah satu yang berkerumun, bersaksi pada polisi. Korban ini adalah pengemis yang beberapa waktu lalu pernah mencoba bunuh diri di rel kereta api tapi terselamatkan. Hasil pemeriksaan sementara, polisi menyimpulkan Mang Ujang memang meninggal bunuh diri.
Petugas ambulans memboyong tubuh Mang Ujang untuk di otopsi. Aku hanya bisa meratapi. Bau amis darah Mang ujang tak lagi menusuk hidungku. Rasanya harum seperti harummanis.
***



Tidak ada komentar: