Halaman

Rabu, 22 September 2010

Bulan Malam

Aku sedang menatap rembulan di balik jendela kamar kosanku. Letak kamarku di lantai dua menghadap arah barat, tepat arah dimana sang raja api lenyap di telan bumi yang berganti suasana kemuning senja. Konon katanya itu adalah masa bentrokan dimensi manusia dengan alam jin. Makanya jarang orang-orang berkeliaran saat magrib menjelang. Biasanya orang-orang lebih memilih diam dirumah, mengunci rapat-rapat pintu dan jendela serta menutup gorden hingga tidak ada celah sedikitpun untuk bisa diintip dari luar ataupun mengintip dari dalam. Entah benar atau tidak mitos tersebut aku sedang tidak ingin dan tidak akan pernah berkeinginan untuk mengetahui kebenarannya. Setidaknya aku masih merasa waras untuk mengurusi hal itu. Aku sekarang sedang asyik menikmati sinar rembulan yang terang benderang menghiasi malam yang mestinya kelam. Dilengkapi taburan bintang dan suara jangkrik yang riang menjadikan suasana malam ini begitu mengesankan dan sayang untuk kulewatkan. Kubiarkan telingaku mendengar lantunan “aku dan bintangnya” Peter Pan dari kamar sebelahku, menjadi soundtrack fenomena alam yang sedang kunikmati.
Wussssh, kurasakan desiran angin malam menyentuh kulitku, terasa dingin dan ngilu. Aku bersin berkali-kali menandakan hidungku sedang tidak bersahabat dengan cuaca malam ini. Tapi aku merasa enggan untuk beranjak dari jendela kamarku. Rembulan itu cukup menyita perhatianku, aku tak ingin melepaskan keindahan itu. Aku ingin tetap bisa mengaguminya dan kalau perlu aku ingin menyentuh dan menggengamnya dan merasakan bentuk sempurnanya. Kurasakan tanganku bisa menggapainya, seperti menyentuh bola lampu susu. Kupejamkan mata dan kurasakan permukaan halus dan hangat di tanganku. Dan kumulai membuka mata perlahan. Tapi, tunggu dulu aku melihat bayangan seorang gadis di balik sinarnya, dia tersenyum manis tapi tak bisa kukenali dengan jelas wajah itu. Akh! aku ingin lebih mengenali wajah itu. Aku harus lebih mendekat, sedekat mungkin. Kujulurkan kembali tanganku meraih permukaannya tapi tanganku sulit untuk meraihnnya, dan tiba-tiba aku merasa tubuhku ringan, seringan kapas. Aku bisa melayang mengejar rembulan, aku hampir menyentuhnya. Sedikit lagi aku akan menyentuhnya. Aku tidak sabar ingin melihat pesona gadis dalam rembulan itu. Aku ingin mengenali sosok itu. Tapi, kurasakan dia semakin menjauh dariku. Aku hanya ingin mengenali rupa gadis itu. Dan,  Akh! tubuhku terasa kembali seperti semula, memiliki gaya gravitasi bumi dan akhirnya ...bum...bum...bum. Aku jatuh tepat di atas kolam teratai kosanku. Kurasakan sakit dan ngilu badanku, ada perih menyisa di kulitku. Ku dengar gelak tawa di arah belakangku.
“Pram, pram...bunuh diri koq nanggung gitu!mending lo pegi ke BRI Tower sana naik ke lantai sembilan, baru jatohin diri. Dijamin afdolllll...” Seru Eja teman sebelah kamarku masih dengan tawanya yang terkekeh-kekeh.
Aku tak begitu mempedulikannya badanku terasa sakit dan lumayan basah kuyup serta menyisakan bau amis ikan-ikan kecil disana. Saat aku mendarat tadi aku sempat mendengar teriakan histeris seorang gadis. Sedikit penasaran, tapi aku lebih fokus kepada kondisiku yang gak karuan ini. Sambil sedikit kesal akupun bangun.
“akh! Ja.. lo bukannya bantuin gw bangun, malah ngetawain gw. Tetep aja biarpun jatoh dari lantai dua. Kalo posisi jatoh gw salah, bisa melayang nyawa gw!” Aku bersungut, tapi Eja nampak terdiam, mungkin dia mulai bersimpatik padaku atau boleh jadi dia memang cape menertawaiku.
“Sini! lo bantuin angkat gw dari kolam bau ini!” pintaku sedikit memaksa. Aku masih bersyukur hari ini hari libur, dikosan ini hanya tinggal kami bertiga. Aku, Eja dan Rudi. Aku tak melhat batang hidung Rudi. Mungkin dia keasyikan ngetik skripsi dikamarnya. Syukurlah kalau Rudi melihat kejadian tadi bisa-bisa jadi berita besar dikampus.
Eh aku lupa memperhatikan Eja. Tanpa kusadari dari tadi dia terdiam mematung seperti terpana melihat sesuatu. Aku menghampirinya
“Kenapa lo Ja? mata lo ga berkedip gitu?” tanyaku keheranan.
Eja menarik lenganku “lo liat sana! Ada pemandangan indah bukan?sejak kapan pak Ooy menyimpan gadis cantik itu di rumahnya?”
Mataku mengikuti arah telunjuk Eja, dan aku terpaku sesaat melihatnya. Gadis itu mirip bayangan dalam rembulan tadi. Benar-benar mirip sekali. Aku tercengang dibuatnya. Suatu kebetulan yang langka pikirku. Dia melihatku dengan paras cemas. Dan sepertinya teriakan histeris tadi adalah miliknya.
Esoknya aku dan Eja mendapat kabar bahwa pak Ooy yang punya kosan kedatangan keponakannya dari Tangerang. Namanya Maya dia akan tinggal bersama pak Ooy selama masa penelitian skripsinya di Bandung.
End then.............
“Serius Ja, gw jatoh kemarin gara-gara itu. Maya emang dikirimkan Tuhan buat gw!”aku berusaha meyakinkan dia tentang pengalamanku tadi malam. Eja malah meledekku dengan sengitnya
“lo kebanyakan baca novel tuh. Daya fantasi lo jadi ga karuan. Lagian bilang aja lo takut kalah saing ma gw. Pokonya biarpun lo ma gw temenan, masalah persaingann dapetin Maya tetep fair, ok! Siapa yang cepat dia yang dapat.”
Aku tak menyalahkan Eja atas keraguannya akan ceritaku. Memang akupun sulit mempercayainya. Mungkin ada benarnya juga omongan Eja. Aku terlalu banyak baca Novel jadi terbawa berimajinasi. Tapi dalam lubuk hati yang paling dalam aku masih meyakini Maya adalah gadis dalam rembulan itu, yang dikirimkan Tuhan untukku. Aku mengaguminya seperti aku menggumi rembulan malam. Suatu kebetulan yang indah pikirku.
***




Jatinangor, 051104

Tidak ada komentar: